Selasa, 25 November 2014

Makalah Tinjauan Yuridis Sengketa Meruya selatan Menurut UU Agraria No 5 Tahun 1960 (UUPA)

MAKALAH
TINJAUAN YURIDIS
SENGKETA MERUYA SELATAN
MENURUT UU AGRARIA NO 5 TAHUN 1960 (UUPA)
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas meta kuliah
Pengantar Ilmu Hukum




disusun oleh :
Rudi baharudin Japar


SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI
SEBELAS APRIL SUMEDANG

2012 


KATA PENGANTAR

            Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya penulis dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya.
            Dalalam penulisan makalah ini saya mendapat bantuan dari berbagai pihak dan dari materi-materi yang ada. Oleh karena itu saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulisan makalah ini.
            Saya sadar bahwa dalam makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, hal itu di karenakan kterbatasan kemampuan dan pengetahuan saya. Oleh karena itu saya mengharapkan kritk dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita.
            Akhir kata, saya mohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini meiliki banyak kekurangan dan kesalahannya.





Sumedang, September 2012




DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang 
1.2         Identifikasi Masalah
1.3         Tujuan Penulisan
1.4         Metode Penulisan
BAB II TINJAUAN TEORI SENGKETA TANH MERUYA
2.1     Hak Atas Tanah 
a.         Cara peralihan hak atas tanah 
b.        Pencabutan Hak-hak atas tanah 
2.2     Sertifikat Hak Atas Tanah 
a.         Pengertian sertifikat 
b.        Sertifikat sebagai alat bukti yang kuat 
2.3     Pengertian Sengketa Menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1960 (UUPA) 
2.4     Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah 
BAB III TINJAUAN YURIDIS SENGKETA TANAH MERUYA
3.1     Kepastian Hukum Bagi Warga Yang MemegangTanda Bukti
Kepemilikan Atas Hak Tanah Meruya (sertifikat) 
3.2     Penyelesaian Hukum Terhadap Sengketa hak Atas Tanah Warga Meruya,
Menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1960 (UUPA) 
BAB IV PENUTUP
4.1     Kesimpulan
4.2     Saran
DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
Indonesia adalah Negara yang berdasar hukum, maka semua aspek kehidupan bermasyarakat diatur oleh hukum yang diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan. Masyarakat dalam suatu negara hukum akan menyelesaikan masalahnya dalam suatu lembaga peradilan yang diatur khusus oleh undang-undang. Kasus kontemporer yang pernah mengemuka dalam pemberitaan di media masa di Indonesia, khususnya di ibukota Jakarta, dalam kasus sengketa kepemilikan tanah yang terkenal dengan kasus tanah Meruya.
Kasus tersebut bermula dari rencana eksekusi oleh pemilik hak atas tanah yaitu PT Portanigra, yang membeli tanah tersebut seluas 44 Ha sekitar tahun 1972 yang lalu dari Juhri Cs sebagai koordinator penjualan tanah. Juhri Cs, ternyata setelah menjual tanah tersebut kepada PT Portanigra, menjual lagi tanah itu kepada perorangan, perusahaan, pemda dan berbagai instansi. Masyarakat dan berbagai instansi yang membeli dari Juhri Cs kemudian memiliki berbagai tanda bukti hak (sertifikat) atas tanah itu. Atas tindakan Juhri Cs, pengadilan telah menetapkan bahwa tindakan Juhri Cs adalah bertentangan dengan hukum, dan mereka telah di pidana pada tahun 1987-1989 atas perbuatan penipuan, pemalsuan dan penggelapan.[1]
PT portanigra, dengan penguatan putusan pidana kepada Juhri Cs, kemudian  menggugat secara perdata Juhri Cs, untuk mengembalikan tanah-tanah tersebu sekaligus meminta pengadilan utuk meletakan sita jaminan atas tanah mereka, yang luasnya 44 Hektar. Permohonan sita jaminan dikabulkan oleh hakim dengan penetapan sita jaminan No. 161/Pdt/G/1996/PN.Jkt.Bar tanggal 24 Maret 1997 dimasukan dalam berita acara sita jamianan tanggal 1 April 1997. Pengadilan Negari pada tanggal 24 April 1997 menyatakan gugatan PT Portanigra tidak dapat diterima karena tidak menyertakan para pemilik tanah lainnya diatas tanah sengketa tersebut. Pengadilan Tinggi menolak banding Portanigra dan menguatakan putusan Pengadilan Negeri. Namun, di tingkat kasasi, Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi serta memutuskan untuk mengadili sendiri. Berdasarkan putusan kasasi No. 570/K/Pdt/1999 jo.No.161/Pdt.G/1996/PN.JKT.BAR, Mahkamah Agung menerima kasasi PT portanigra. Pertimbangannya antara lain ialah bahwa pihak ketiga akan dapat melakukan bantahan terhadap sita jaminan atau pelaksnaan eksekusi bila memiliki bukti untuk mempertahanakan haknya.[2]
Ketika PT Poranigra akan melaksanakan eksekusi atas tanah tersebut, setelah mendapat penetapan dari pengadilan Jakarta Barat pada tahun 2007, dia memperoleh perlawanan dari masyarakat, dan berbagai instansi pihak ketiga, yang memiliki tanda bukti hak atas tanah tersebut. Perlawanan yang diajukan oleh pemegang hak atas tanah memperoleh dukungan moral dan politis dari berbagai lapisan masyarakat seperti Parlemen, Pemda, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) dan lain-lain. Karena kasus ini, telah melebar dan meluas melebihi porsi hukum dan khususnya keperdataan, dan mulai mengarah ke hal-hal yang berkaitan dengan stabilitas, politik, keamanan dan lain-lain.[3]
Bertitik tolak dari uraian di atas, maka kami ingin  membahas lebih lanjut mengenai permasalahan tersebut.

1.2         Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian diatas penulis mencoba untuk mengidentifikasi permasalahan, sekaligus merupakan pembahasan permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut :
1)      Bagaimana kepastian hukum bagi warga yang memegang tanda bukti kepemilikan hak (sertifikat) atas tanahnya ?
2)      Upaya apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan hukum terhadap sengketa hak atas tanah warga Meruya, menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1960 (UUPA) ?

1.3         Tujuan Penulisan
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1)      Untuk mengetahui kepastian hukum bagi warga yang memegang tanda bukti kepemilikan hak (sertifikat) atas tanah tersebut.
2)      Untuk mengetahui penyelesaian hukum terhadap sengketa hak atas tanah warga Meruya, menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1960 (UUPA).

1.4         Metode Penelitian
Metode penulisan makalah ini dengan menggunakan deskriptif  analistis. Deskriptif dalam arti bahwa penulis bermaksud untuk membahas secara rinci mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan kepastian dan penyelesaian hukum bagi warga yang memegang tanda bukti kepemilikan hak atas tanah dan mengenai sengketa hak atas tanah Meruya sedangkan analistis mengelompokan, menghubungkan dan memberi tanda pada kepastian hukum yang berlaku.





BAB II
TINJAUAN TEORI SENGKETA TANAH MERUYA

2.1     Hak Atas Tanah
            Hak-hak perorangan dan badan hukum atas tanah memperoleh pengakuan yang kuat dalam sistem dan hukum di Indonesia. Hak milik atas tanah adalah bagian dari hak-hak kebendaan yang di jamin dalam konstitusi. Dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 sebagai hasil dari amendemen kedua, dinyatakan sebagai berikut :
Pasal 28 g
“setiap orang berhak mendapat perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya , serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
Pasal 28 h
“setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh di ambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”.
Selanjutnya dalam UUPA, dinyatakan antara lain sebagai berikut :
Pasal 4 ayat (2)
“Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi”.
Berdasarkan pengertian pasa pasal 4 ayat (2) tersebut, hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi, tepatnya hanya meliputi sebagian tertentu permukaan bumi yang terbatas, yang disebut bidang tanah. Hak atas tanah tidak meliputi tubuh bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Asas yang hanya mengakui hak atas tanah adalah terbatas pada hak atas permukaan bumi saja disebut dengan asas pemisahan horizontal. Asas pemisahan horizontal adalah asas dimana pemilikan atas tanah dan benda atau segala sesuatu yang berada diatas tanah itu adalah terpisah. Asas pemisahan horizontal memisahkan tanah dan benda lain yang melekat pada tanah itu. Asas pemisahan horizontal adalah asas yang didasarkan pada hukum adat, dan merupakan asas yang dianut oleh UUPA.[4]
Di dalam UUPA dibedakan berbagai hak atas tanah sebagai berikut : hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan.
Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, memiliki fungsi sosial serta dapat dialihkan dan beralih.
Pasal 20 UUPA menyatakan:
“Dalam pasal ini disebutkan sifat-sifat dari pada hak milik yang mebedakannya dengan hak-hak lainnya. Hak milik adalah hak yang “terkuat dan terpenuh” yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti , bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu-gugat”.
          Sebagai hak eigendom munurut pengertianya yang asli dulu. Sifat yang demikian akan terang bertentangan dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak. Kata-kata “terkuat dan terpenuh” itu bermaksud untuk membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan lain-lainnya, yaitu untuk menunjukan, bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang hak miliklah yang “ter” (artinya : paling) –kuat dan terpenuh.[5]
Hak guna bangunan adalah salah satu hak atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Pengertian Hak Guna Bangunan diataur dalam pasal 35 ayat (1) yang berbunyi :
“Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun”.
            Pernyataan pasal 35 ayat (1) tersebut mengandung pengertian bahwa pemegang HGB bukanlah pemegang hak milik atas bangunan tanah dimana bangunan tersebut didiraikan.[6] Sehubungan dengan hal tersebut, pasal 37 UUPA menyatakan bahwa HGB dapat terjadi terhadap tanah negara yang dikarenakan penetapan pemerintah.

Hak pakai pengertiannya diatur dalam pasal 41 ayat (1) UUPA yaitu :
“Hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah millik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang”.[7]
a.    Cara peralihan hak atas tanah
Hak milik atas tanah mengandung unsur hak kebendaan dan hak perorangan. Sebagai hak kebendaan, hak atas tanah memiliki ciri-ciri bersifat absolut, jangka waktunya tidak terbatas, hak mengikuti bendanya (droit de suite), dan memberi wewenang yang luas bagi pemiliknya seperti dialihkan, dijaminkan, disewakan atau dipergunakan sendiri. Sebagai hak perseorangan, ciri-cirinya adalah bersifat relatif, jangka waktunya terbatas, mempunyai kekuatan yang sama tidak tergantung saat kelahirannya hak tersebut, memberi wewenang terbatas kepada pemiliknya.
Mengenai pengalihan atau penyerahan hak atas tanah, terdapat dua pendapat yaitu yang pertama adalah bahwa jual beli harus dilakukan dengan akta otentik yang diikuti dengan pendaftaran tanah untuk mendapatkan sertifikat sebagai tanda bukti hak atas tanah. Akta otentik yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah, bukan saja hanya sebagai alat bukti untuk pendaftaran tetapi merupakan syarat mutlak adanya perjanjian penyerahan. Pendapat ini diwakili oleh Mariam Darus Badrulzaman dan Saleh Adiwinata. Pendapat lainnya adalah bahwa perbuatan jual beli tanpa diikuti dengan akta otentik adalah sah, sepanjang diikuti dengan penyerahan konkret. Pendapat ini diwakili oleh Boedi Harsono dan R. Soeprapto.[8] Penyerahan yang sifatnya konsensual sebagai mana dianut hukum perdata sekaligus dengan penyerahan yang sifatya konkret sebagaimana di anut oleh hukum adat pada dasarnya adalah bertentangan dan dapat terjadi dualisme dalam penafsiran kepastian hukumnya.[9]
Mariam darus Badrulzaman berpendapat, bahwa lembaga pendaftaran, tidak semata-mata mengandung arti untuk memberikan alat bukti yang kuat, akan tetapi juga menciptakan hak kebendaan. Hak kebendaan atas suatu benda tanah terjadi pada saat pendaftaran dilakukan. Sebelum dilakukan pendaftaran yang ada baru milik, belum hak.[10] Dalam kaitan itulah, maka salah satu asas dari hak atas tanah adalah adanya asas publisitas.
Peraturan Pemerintah no. 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, adalah bersifat stelsel pasif. Artinya yang didaftar adalah hak, peralihan hak dan penghapusannya serta pencatatan beban-beban atas hak dalam daftar buku tanah. Hubungan antara pemindahan dengan alas hak adalah bersifat kasual, karena sifat peralihan hak tersebut adalah bersifat levering. Stelsel negatif ini berakibat :
1)      Buku tanah tidak memberikan jaminan yang mutlak.
2)      Peranan yang pasif dari pajak balik nama, artinya pejabat-prjabat pendaftaran tanah tidak berkewajiban untuk menyelidiki kebenaran dari dokumen-dokumen yang diserahkan kepada mereka.
Selanjutnya, Mariam Darus Badrulzaman menjelaskan bahwa berdasarkan ajaran KUH Perdata pada pasal 584, dianut ajaran untuk sahnya penyerahan dibutuhkan beberapa syarat, yaitu :
1)      Alas hak (rechttitel).
2)      Perjanjian kebendaan yang diikuti dengan perbuatan penyerahan (pendaftaran) dan penerbitan sertifikat.
3)      Wewenang menguasai (beschikkings bevoegheid).

Pendapat yang dianut Mariam Darus Badrulzaman di atas, tampaknya sangat dipengaruhi oleh ajaran teori kausal, yang memandang bahwa hubungan hukum adalah obligatornya, sedangkan levering adalah akibatnya. Artinya levering baru sah, dan karenanya baru menjadikan yang menerima penyerahan sebagai pemilik, kalau reschtitel yang memindahkan hak milik sah.[11]

b.    Pencabutan hak-hak atas tanah
Mengenai hak kepemilikan atas tanah, sifatnya tidak mutlak, artinya apabila kepentingn negara atau kepentingan umum menghendaki, hak kepmillikan perorangan atau badan usaha atas sebidang tanah dapat dicabut dengan pemberian ganti rugi. Prinsip ini dianut baik dalam KUH Perdata maupun dalam UUPA.
Pasal 570 KUH Perdata
“Hak milik adalah hak untuk  menikmati suatu barang secara lebih leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya asalkan tidak bertentanggan dengan undang-undang atau  peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak menganggu hak-hak orang lain; kesemuaanya ini tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang  pantas, berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan”.
Pasal 16 ayat 4 UUPA
“Untuk kepentingn umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”.

Pengertian kepentingan umum, harus dijaga dengan ketat untuk tidak melebar dan terlalu elastis sehingga hal-hal yang tidak seyogyanya digolongkan sebagai kepentingan umum, tetapi justru memperoleh penguatan dan legitimasi. Batasan tentang pengertian kepentingan umum yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di masyarakat, dan dapat menjurus kepada ketidakpastian yang baru dan menimbulkan konflik di masyarakat. Karena itu harus ada pengertian yang konkret akan makna kepentingan umum.
Dalam Peraturan Presiden nomor 65 tahun 2006 pada pasal 2 dinyatakan bahwa pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Sedangkan pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar atau cara lain yang di sepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Selanjutnya pada pasal 5 diatur secara limitatif bidang-bidang yang termasuk dalam kategori pembangunan untuk kepentingan umum.
Satu hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa yang dimaksudkan untuk pembangunan kepentingan umum haruslah yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Pembebasan tanah yang dilakukan oleh pihak selain Pemerintah, berdasarkan aturan PP tersebut di atas tidak dapat digolongkan sebagai pembangunan untuk kepentingan umum.
2.2     Sertifikat Hak Atas Tanah
            Sertifikat memiliki banyak fungsi bagi pemiliknya. Dari sekian fungsi yang ada, dapat dikatakan pada fungsi utama dan terutama dari sertifikat adalah sebagai alat bukti yang kuat, demikian dinyatakan dalam pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, karena itu, siapapun dapat dengan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas tanah bila telah jelas namanya tercantum dalam sertifikat itu. Selanjutnya dapat membuktikan mengenai keadaan-keadaan dari tanahnya itu misalnya luasnya, batas-batasnya, ataupun segala sesuatu yang berhubungan dengan bidang tanah dimaksud.
Apabila dikemudian hari terjadi tuntutan hukum di pengadilan tentang hak kepemilikan / penguasaan atas tanah, maka semua keterangan yang dimuat dalam sertifikat hak atas tanah itu mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan kerenanya hakim harus menerima sebagai keterangan-keterangan yang benar, sepanjang tidak ada bukti lain yang mengingkarinya atau membuktikan sebaliknya. Tetapi jika ternyata ada kesalahan didalamnya maka diadakanlah perubahan / pembetulan seperlunya.
Dalam hal ini yang berhak melakukan pembetulan bukanlah pengadilan, melainkan instansi yang menerbitkannya yakni Badan Pertahanan Nasional (BPN) dengan jalan pihak yang dirugikan mengajukan permohonan perubahan sertifikat dengan melampirkan surat keputusan pengadilan yang menyatakan tentang adanya kesalahan dimaksud.
a.    Pengertian Sertifikat
Berdasarkan pengertian pada Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Pokok Agraria untuk hak atas tanah, hak pengelola, hak wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Adapun yang dimaksud Pasal 19 ayat (2) huruf c pada Undang-Undang pokok Agraria dalam pengertian sertifikat, yaitu pemberian surat tanda bukti hak yang brlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan yuridis tersebut sesuai dengan data yang adadalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan, dikatakan demikian karena selama tidak ada bukti lain yang membuktikan ketidakbenarannya, maka keterangan yang ada dalam sertifikat harus dianggap benar dengan tidak perlu bukti tambahan, sedangkan alat bukti lain tersebut hanya dianggap sebagai alat bukti permulaan dan harus dikuatkan oleh alat bukti yang lainnya.
Jadi, sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai macam hak, subyek hak maupun tanahnya. Penerbitan sertifikat dan diberikan kepada yang berhak dimaksudkan agar pemegang hak dapat  membuktikan dengan mudah bukti haknya. Sedangkan fungsi sertifikat adalah sebagai alat pembuktian kepemilikan hak atas tanah.

b.    Sertifikat Sebagai Alat Bukti yang Kuat
Menurut Undang-Undang Pokok Agraria sebagai landasan hukum bidang pertanahan di indonesia, Pasal 19 ayat (2) sub. C sertifikat sebagai pembuktian yang kuat adalah bahwa data fisik dan data yuridis yang sesuai dengan data yang tertera dalam Buku Tanah dan Surat Ukur yang bersangkutan harus di anggap data yang benar kecuali dibuktikan sebaliknya oleh pengadilan, sehingga selama tidak bisa dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum didalamnya harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam melakukan perbuatan hukum sehari-hari, maupun dalam berperkara di pengadilan, sehingga data yang tercantum benar-benar harus sesuai dengan surat ukur yang bersangkutan, karena data yang diambil berasal dari surat ukur dan buku tanah tersebut.
Jadi sertifikat hak atas tanah adalah slinan buku tanah dan surat ukur tersebut kemudian dijilid menjadi satu dengan sampul yang telah ditetapkan bentuknya, sehingga terciptalah sertifikat hak atas tanah. Buku tanah itu merupakan lembaran-lembaran daftar isian, yang berisi dan merupakan surat-surat bukti mengenai :
1)      Macam-macam hak atas tanah yang dibekukan.
2)      Subjek yang mempunyainya.
3)      Tanah mana yang dihaki (menunjuk pada surat ukurnya atau gambar situasinya).
4)      Hak-hak lain yang membebaninya.
Sedangkan surat ukur adalah salinan memuat gambar tanah yang melukiskan batas tanah, tanda-tanda batas maka yang terpenting surat ukur harus memuat :
1)      Nomor pendaftaran.
2)      Nomor dan tahun surat ukur atau buku tanah.
3)      Nomor pajak jika mungkin.
4)      Uraian tentang letak tanah.
5)      Uraian tentang keadaan tanah.
6)      Luas tanah.
Hal-hal yang dapat dibuktikan dalam sefrifikat hak atas tanah tersebut adalah :
1)      Jenis hak atas tanah.
2)      Pemegang hak.
3)      Keterangan fisik tentang tanah.
4)      Beban diatas tanah.
5)      Peristwa hukum yang terjadi dengan tanah.
Jalaslah apabila seseorang memiliki sertifikat hak atas tanah akan merasa terjamin akan kepastian hak atas tanah yang dimilikinya, sebab apabila terjadi pelanggaran atas tanah hak miliknya maka pemilik tanah dapat menuntut haknya kembali.
2.3     Pengerian Sengketa Menurut Undang-Undang no 5 Tahun 1960 (UUPA)
Konflik menurut pengertian hukum adalah perbedaan pendapat, perselisihan paham, sengketa antara dua pihak tentang hak dan kewajiban pada saat dan keadaan yang sama. Secara umum konflik atau perselisihan paham, sengketa, diartikan dengan pendapat yang berlainan antara dua piihak mengenai masalah tertentu pada saat dan keadaan yang sama.[12] Selanjutnya, kata “konflik” menurut Kamus Ilmiah Populer adalah pertentangan, pertikaian, persengketaan, dan perselisaihan.[13]
Dalam hal ini akan dibahas mengenai konflik tanah, sebutan “tanah” dalam bahasa ini dapat dipahami dengan berbagai arti, maka penggunanya perlu diberi batasan agar diketahui dalam arti apa istilah tersebut digunakan. Dalam hukum tanah sebutlah istilah “tanah” dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dinyatakan bahwa; “Atas dasar hak menguasai dari Negara ..., ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah yang dapat diberikan dan dipunyai oleh orang-orang”. Tanah dalam pengertian yuridis mencakkup permukaan bumi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Hak tanah mencakup hak atas sebgian tertentu yang berbatas di permukaan bumi.
Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh Undang-Unfang Pokok Agraria (UUPA) untuk digunakan atau dimanfaatkan. Diberikannya dan dipunyai tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna jika penggunaannya terbatas hanya hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja.
Untuk keperluan apa pun memang tidak bisa tidak, pasti digunakan juga sebagai tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang angkasa yang di permukaan bumi. Oleh karena itu, dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dinyatak bahwa hak-hak atas tanah bukan hanya memberiakan wewenang untuk menggunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan yang disebut “tanah”, tetapi juga tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang angkasa yang ada di atasnya, dengan demikian yang dipunyai dengan hak atas tanah adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi, tetapi wewenang menggunakan yang bersumber dengan hak tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada dibawah tanah, air serta ruang yang ada di atasnya.[14]
Pembatasan pengertian tanah dengan permukaan bumi diatur dalam penjelasan Pasal Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagaimana dalam pasal 1 bagian II angka I bahwa dmaksud dengan tanah ialah permukaan bumi.[15]
Fokus dalam makalah ini Konflik pertahanan. Konflik dalam pertahanan sering disebut dengan sengketa, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sengketa merupakan segala sesuatu yang menyebabakan perbedaan pendapat, pertikaian dan pembantahan.[16] Timbulnya sengketa hukum mengenai tanah berawal dari pengaduan suatu pihak (orang atau badan hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan  hak atas tanah baik terhadap suatu tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.[17] Sifat permasalahan dari suatu sengketa secara umum ada beberapa macam, antara lain :
1)      Masalah yang menyangkut prioritas dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak, atau atas tanah yang belum ada haknya.
2)      Bantahan terhadap sesuatu atas hak / bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak.
3)      Kekeliruan / kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang atau tidak benar.
4)      Sengketa atau masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis.
Alasan yang sebenanya menjadi tujuan akhir dari sengketa bahwa ada pihak lain yang lebih berhak dari yang lain (prioritas) atas tanah yang desengketakan, oleh karena itu, penyelesaian sengketa hukum terhadap sengketa tersebut tergantung dari sifat permasalahan yang diajukan dan prosesnya akan memerlukan beberapa tahap tertentu sebelum di peroleh suatu keputusan.
2.4     Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah
Mengenai tata cara dan prosedur penyelesaian sengketa hukum atas tanah belum diatur secara konkret, seperti mekanisme pormohonan hak atas tanah (Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 9 Tahun 1999) oleh karena itu, penyelesaian kasus tidak dilakukan dengan pola penyelesaian yang seragam tetapi dari beberapa pengalaman, pola penanganan ini telah kelihatan melembaga walaupun masih samar-samar.[18]
Mekanisme penanganan sengketa hukum atas tanah lazimnya diselenggarakan dengan pola sebagai berikut :
1)      Pengaduan
Dalam pengduan berisi hal-hal dan peristiwa yang menggambarkan bahwa pemohon / pengadu adalah pihak yang berhak atas tanah yang disengketakan dengan dilampiri dengan bukti-bukti serta mohon penyelesaian dengan disertai harapan agar terhadap tanah tersebut dapat dicegah mutasinya sehingga tidak merugikan pemohon.
2)      Penelitian
Mekanisme berikutnya setelah pengaduan adalah penelitian berupa pengumpulan data atau administrasi maupun hasil penelitian fisik di lapangan mengenai penguasaannya. Hasil dari penelitian dapat disimpulkan sementara bahwa apakah pengaduan tersebut beralasan atau tidak untuk diproses lebih lanjut.
3)      Pencegahan Mutasi
Tindak lanjut dari penyelesaian sengketa adalah atas dasar petunjuk atau perintah atasan maupun berdasarkan prakarsa Kepala Kantor Agraria yang bersangkutan terhadap tanah sengketa, dapat dilakukan langkah pengamanan berupa pencegahaan untuk sementara terhadap segala bentuk perubahan atau mutasi. Tujuan dilakukannya pencegahan atau mutasi adalah menghentikan untuk sementara waktu segala bentuk perubahan terhadap tanah yang disengketakan.
4)      Musyawarah
Pendekatan terhadap para pihak yang bersengketa melalui musyawarah sering berhasil didalam usaha penyelesaian sengketa, dan biasanya menempatkan instansi pemerintah yang dalam hal ini adalah Direktorat Jendral Agraria untuk bertindak sebagai mediator dalam menyelesaikan sengketa secara kekeluargaan.
5)      Penyelesaian Melalui Pengadialan
Apabila usaha melalui jalan musyawarah tidak mendatangkan hasil maka  sengketa harus diselesaikan oleh instansi yang berwenang yaitu pengadilan.[19]
            Jadi pada umumnya sifat dari sengketa adalah adanya pengaduan yang mengandung pertentangan hak atas tanah maupun hak-hak lain atas suatu kesempatan / prioritas atau adanya suatu ketetapan yang merugikan dirinya. Para pihak menghendaki penyelesaian sengketa yang mendasarkan atau  memperhatikan peraturan yang berlaku, memperhatikan keseimbangan kepentingan para pihak, menegakan keadilan hukum dan penyelesaian tersebut harus tuntas. Pada masyarakat desa, peran kepala desa sangat penting dalam  menyelesaikan masalah yang dihadapi warganya. Persoalan yang menyangkut warga desa dimusyawarahkan terlebih dahulu dalam rapat desa atau dibicarakan dengan sesepuh desa untuk memperoleh pemecahan yang tepat dan memuasakan bagi semua pihak. Upaya penyelesaian sengketa melalui musyawarah merupakan cerminan corak khas tata kehidupan masyarakat adat tradisional yang memiliki sifat kebersamaan, gotong-royong dan kekeluargaan.






BAB III
TINJAUN YURIDIS SENGKETA TANAH MERUYA

3.1     Kepastian Hukum Bagi Warga yang Memegang Tanda Bukti Kepemilikan hak Atas Tanah (Sertifikat)
Berdasarkan pengertian pada Pasal 4 ayat (2) pada tinjauan teori, bahwa hak atas tanah adalah  hak atas permukaan bumi, tepatnya hanya meliputi sebagian tertentu permukaan bumi yang terbatas, yang disebut bidang tanah. Di dalam UUPA dibedakan berbagai hak atas tanah sebagai berikut : hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan.
Menurut UUPA Pasal 20, hak milik adalah hak yang “ terkuat dan terpenuh” yang dapat dipunyai orang atas tanah. Bahwa hak itu merupakan hak mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu-gugat, hak ini berbeda dengan hak lainnya, karena hak ini merupakan hak mutlak. Begitu pun yang dirasakan oleh warga Meruya atas tanah Meruya tersebut. Mereka merasa bahwa tanah Meruya murupakan hak milik mereka, dikarenakan mereka mempunyai sertifikat atas tanah yang mereka tempati, sertifikat itu pun resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sehingga ketika mencuat permasalahan ini masyarakat yang disini sebagai pihak ketiga pun merasa kebingungan atas hak mereka.
Seedangkan setelah dikaji lebih lanjut, transaksi jual beli tanah antara PT Portanigra dengan Juhri Cs, yang tidak atau belum dilanjutkan dengan pendaftaran tanah untuk mendapatka sertiffikat tanah, membawa akibat hukum bahwa bukti kepemilikan PT Portanigra atas tanah tersebut belum lengkap. Sesuai dengan teori bab sebelumnya dikatakan bahwa, mengenai pengalihan atau penyerahan hak atas tanah, terdapat dua pendapat yaitu yang pertama adalah bahwa jual beli harus dilakukan dengan akta otentik yang diikuti dengan pendftaran tanah untuk mendapatkan sertifikat sebagai tanda bukti hak atas tanah. Akta otentik yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah, bukan saja hanya sebagai alat bukti untk pendaftaran tetapi merupakan syarat mutlak adanya perjanjian penyerahan. Dengan demikian, kepemilikan yang dipunyai PT Portanigra adalah kepemilikan yang bersifat kebandaan, bukan kepemilikan yang bersifat hak perorangan. Untuk mendapatkan hak milik, maka PT Portanigra harus melanjutkan dengan prosedur normal dengan melakukan pendaftaran tanah untuk mendapatkan sertifikat hak.
Disamping itu masyarakat sebagai pihak ketiga dalam permasalahan ini telah melakukan transaksi jual beli bersama Juhri Cs, dengan akta otentik, pendaftaran tanah, hingga memperoleh sertifikat tanah. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA dalam teori bab sebelumnya pengertian sertifikat, yaitu pemberian surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersngkutan, dikatakan demikian karena selama tidak ada bukti lain yang membuktiakan ketidakbenarannya, maka keterangan yang ada dalam sertifikat harus dianggap benar dengan tidak perlu bukti tambahan, sedangkan alat bukti lain tersebut hanya dianggap sebagai alat bukti permulaan dan harus dikuatkan oleh alat bukti yang lainnya.
Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai macam hak, subyek hak maupun tanahnya. Penerbitan sertifikat dan diberikan kepada yang berhak dimaksudkan agar pemegang hak dapat dengan mudah mumbuktikan haknya. Sedangkan fungsi sertifikat adalah sebagai alat pembuktian kepemillikan hak atas tanah. Sertifikat hak atas tanah adalah sebagai alat salinan buku tanah dan surat ukur, kemudian dijilid menjadi satu dengan sampul yang telah ditetapkan bentuknya, sehingga terciptalah sertifikat hak atas tanah. Jelaslah apabila seseorang memiliki sertifikat hak atas tanah akan merasa terjamin akan kepastian hak atas tanah yang dimilikinya, sebab apabila terjadi pelanggaran atas tanah hak miliknya maka pemilik tanah dapat menuntut haknya kembali.
Kemudian meninjau dari pengalihan tanah dari para pembeli awal, kepada pembeli, serta para pihak yang saat ini secara nyata menduduki baik secara hukum maupun konkret, telah berlangsung sesuai dengan aturan dari pemerintah. Dengan demikian sangat jelas bahwa pihak-pihak yang memegang sertifikat tersebut memang sah adanya sesuai hukum, dan tentu saja hukum melindungi para pembeli dengan itikad baik.[20] Dalam hukum berlaku satu asas, yaitu bahwa kejujuran itu dianggap ada pada setiap orang. Sedangkan ketidakjujuran harus dibuktikan. Hukum juga memberi perlindungan absolut dan relatif, karena kepemilikan pada pihak-pihak yang menduduki tanah tersebut saat ini adalah kepemilikan kebendaan maupun kepemilikan perorangan.
3.2     Penyelesaian Hukum Terhadap Sengketa Hak Atas Tanah Warga Meruya, Menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1960 (UUPA)
            Sengketa tanah Meruya antara PT Portanigra dan Juhri Cs berawal dari jual beli tanah pada 1972 dan 1973. Ternyata H. Juhri cs ingkar janji dengan menjual lagi tanahnya kepada pihak lain sehingga mereka dituntut secara pidana (1984) dan digugat secara perdata (1996). PT Portanigra yang menang dalam putusan MA pada tahun 1996 tidak langsung mengeksekusi tanahnya, baru 11 tahun kemudian yakni tahun 2007 baru melaksanakan eksekusi tanahnya yang lahan sudah ditempati warga Meruya sekarang dengan sertifikat asli.
            Sengketa tanah yang dimulai sejak lebih dari 30 tahun yang lampau ini bukanlah kurun waktu singkat. Selama itu sudah banyak yang berubah dan berkembang, baik penghuni, lingkungan sekitar, institusi terkait yang menangani, pasti personelnya sudah silih berganti. Mereka meras memiliki hak dan ataupun kewenangan. Mereka merasa telah menjalankan tugas dangan baik dan tidak mau disalahkan, tidak ingin kehilangan hak miliknya. Situasi dan kondisi lapangan pada 1972 tentunya berbeda sama sekali dengan sekarang. Cara-cara melakukan penilaian dan mengambil langkah-langkah penindakan 30 tahun yang lalu pada saat ini telah banyak berubah. Pradigma masa lalu bahwa warga banyak yang belum memiliki sertifikat akan berhadapan dengan program sertifikasi yang memberi kemudahan dalam memperoleh sertifikat tanah.
            Persengketaan ini tentu akan semakin berlarut-larut apabila tidak ditindak lanjuti dengan baik. Semua pihak yang trlibat didalam permasalahan ini masing-masing merasa paling berhak atas tanah tersebut. Baik pihak PT Portanigra maupun masyarakat atau institusi yang mempunyai sertifikat hak atas tanah. Penyelesaian sengketa hukum ini akan memerlukan beberapa proses dan tahap tertentu sebelum diperoleh suatu keputusan. Menurut pemahaman dari teori pada bab sebelumnya ada beberapa tahapan mekanisme untuk menyelesaikan persoalan persengketaan, yaitu :
1)      Pengaduan.
2)      Penelitian.
3)      Pencegahan Mutasi.
4)      Musyawarah.
5)      Penyeleasaian melalui pengadilan.
            Mungkin proses tahapan penyelesaian diatas akan memakan waktu lama atas kasus ini, dikarenakan kasus ini telah berlarut-larut hingga 30 tahun, proses diatas munkin akan kurang efektif, banyaknya perubahan-perubahan yang terjadi, situasi dan kondisi saat 30 tahun yang lalu sangat berbeda dengan sekarang. Sehingga menurut kami kondisi tersebut akan sulit dalam melakukan penelitian lebih dalam kasus ini.
            Pada umumnya sifat dari sengketa adalah adanya pengaduan yang mengandng pertentangan hak atas tanah maupun hak-hak lain atas suatu kesempatan / prioritas atau adanya suatu ketetapan yang merugikan dirinya. Para pihak menghendaki penyelesaian sengketa yang mendasarkan atau memperhatikan peraturan yang berlaku, memperhatikan tersebut harus tuntas. Pada kasus sengketa tanah Meruya ini antar PT Portanigra dan warga harus duduk bersama melalui musyawarah mufakat untuk mencapai solusi yang dilandasi akal sehat merupakan penyelesaian yang lebih baik daripada saling menyalahkan secara emosional. Cara ini mungkin akan lebih efektif dibanding dengan cara sebelumnya.
            Ada pula cara lain dalam menyelesaikan kasus sengketa tanah ini melalui beberapa jalur hukum yang dapat ditempuh seperti gugatan perlawanan oleh pihak ketiga yang merasa mempunyai hak (telah dilakukak), mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) oleh para pihak yang bersengketa seperti antara PT. Portanigra dengan Juhri cs, mengajukan gugatan baru oleh para pihak yang merasa dirugiakan dalam permasalahan sngketa. Untuk memperjuangkan hak-haknya, warga melandasinya dengan surat-surat yang kuat (sertifikat), batas-batas tanah jelas, asal-usulnya dapat ditelusuri serta tidak terkena sengketa.
            Pihak ketiga yakni warga yang menempati tanah tersebut dengan sertifikat tanah yang asli harus beriktikad baik (apa lagi tidak tahu sama sekali mengenai adanya sengketa) seharusnya memperoleh pertimbangan hukum. Jangan sampai mereka menjadi korban sebab dapat  menimbulkan gejolak serta problem kemasyarakatan yang sifatnya bukan sekedar keperdataan. Perlu dilakukan penelitian apakah porosedur pembebasan tanah pada saat ini telah sesuai ketentuan, siapakah yang membayar pajak (PBB) atas tanah sengketa.juga dilakukan penyelesaian atas tanah sengketa yang akan dieksekusi apabila ternyata telah menjadi sarana umum : sekolah, lapangan bola, perkantoran, puskesmas, ataupun kompok pertokoan.





BAB IV
PENUTUP

4.1     Kesimpulan
            Berdasarkan pada hasil pembahasan pada makalah ini dalam kaitannya dengan sengketa tanah Meruya selatan, jakarta barat antara PT. Portanigra dengan Juhri Cs maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a.    Kepastian Hukum Bagi Warga Yang Memegang Tanda Bukti Kepemilikan Hak Atas Tanah (sertifikat)
1)      Transaksi jual beli tanah antara PT. Portanigra dengan Juhri Cs, yang tidak atau belum dilanjutkan dengan pendaftaran tanah untuk mendapatkan sertifikat tanah, membawa akibat hukum bahwa bukti kepemilikan PT. Portanigra atas tanah tersebut belum lengkap.
2)      Masyarakat sebagai pihak ketiga dalam permasalahan ini telah melakukan transaksi jual beli bersama Juhri Cs, dengan akta otentik, pendaftaran tanah, hingga memperoleh sertifikat tanah.
3)      Pengalihan tanah dari para pembeli awal, kepada pembeli, serta para pihak yang saat ini secara nyata menduduki baik secara hukum maupun konkret, telah berlangsung dengan sesuai dengan aturan pemerintah. Dengan demikian sangat jelas bahwa pihak-pihak yang memegang sertifikat tersebut memang sah adanya sesuai hukum.
4)      Hukum akan memberi perlindungan absolut dan relatif kepada masyarakat, karena kepemilikan pada pihak-pihak yang menduduki tanah tersebut saat ini adalah kepemilikan kebendaan maupun kepemilikan perorangan.
b.    Penyelesaian Hukum Terhadap Sengketa hak Atas Tanah Warga Meruya, menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1960 (UUPA)
1)      Cara menyelesaikan perkara ini dengan gugatan perlawanan oleh pihak ketiga yang merasa mempunyai hak (telah dilakukan), mengajuak permohonan peninjauan kembali (PK) oleh para pihak yang bersengketa seperti antara PT. Portanigra dengan Juhri Cs, mengajukan gugatan baruoleh para pihak yang merasa dirugikan dalam permasalahan sengketa. Untuk memperjuangkan hak-haknya, warga melandasinya dengan sura-surat yang kuat (sertifikat), batas-batas tanah jelas, asal-usulnya dapat ditelusuri serta tidak terkena sengketa.
2)      Pihak ketiga yakni warga yang menempati tanah tersebut dengan sertifikat tanah yang asli harus beriktikad baik (apa lagi tidak tahu sama sekali mengenai adanya sengketa) seharusnya memperoleh pertimbangan hukum.
3)      Peerlu dilakukan penelitian apakah prosedur pembebasan tanah pada saat itu telah sesuai ketentuan, siapakah yang membayar pajak (PBB) atasa tanah sengketa. Juga dilakukan penyelesaian atas tanah sengketa yang akan dieksekusi apabila ternyata telah menjadi sarana umum : sekolah, lapangan Bola, perkantoran, puskesmas, ataupun komplek pertokoan.

4.2     Saran
a.    pada kasus sengketa tanah meruya ini antara PT. Portanigra dan warga duduk bersama  melalui musyawarah mufakat untuk mecapai solusi yang dilandasi akal sehat merupakan penyelesaian yang lebih baik dari pada saling menyalahkan secara emosional.
b.    kasus Meruya memberi pelajaran tentang proses hukum yang tidak boleh berlarut-larut, pentingnya sertifikat dalam kepemilikan tanah, tentang putusan pengadilan serta pelaksanaan yang berkeadilan, dan juga perlunya kerja sama antara pengadialan dan lembaga negara yang menangani masalah pertanahan.



[1] Diakses dari www.wordpress.com online internet tanggal 12 September 2012
[2]Diakses dari www.wordpress.com online internet tanggal 12 September 2012
[3]Diakses dari www.wordpress.com online internet tanggal 12 September 2012
[4] Diakses dari www.hukumonline.com online internet tanggal 13 September 2012
[5] Ali Achmad Chomzah, hukum pertahanan, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2002) Hal. 5
[6] Ibid. Hal. 31
[7] Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertahanan, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2002) Hal. 42
[8] Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, (Jakarta Trisakti, ed. 3, 2007)
[9] Diakses dari www.hukumonline.com online internet 13 September 2012
[10] Mariam D. Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, (Bandung PT. Alumdi 1997) Hal. 55
[11] Mariam D. Badrulzaman, mencari Sistem Hukum Benda Nasional, (Bandung PT. Alumdi, 1997) Hal. 62
[12] Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1992) Hal 42
[13] A. Partanto dan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya : Arloka, 1994) Hal 354
[14] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 2005) Hal.18
[15] Ibid. Hal.37
[16] Ibid. Hal.624
[17] Rusmadi Murad, Penyelesaian Huku Atas Tanah, (Bandung : Mandar Maju, 1991) Hal. 22
[18] Rusmadi Murad, Penyelesaian Hukum Atas Tanah, (Bandung : Mandar Maju, 1991) Hal. 23
[19] Rusmadi Murad, penyelesaian Hukum Atas Tanah, (Bandung : Mandar Maju, 1991) Hal. 24
[20] Diakses dari www.hukum.kompasiana.com online tanggal 15 September 2012 




DAFTAR PUSTA

a.    Sumber Buku
Badrulzaman, Mariam D. 1997. Mencari Sistem Hukum Benda Nasiona. Bandung : PT. Alumdi.
Chomzah, Ali Achmad. 2002. Hukum Pertanahan. Jakarta : Prestasi Pustaka.
Harsono, Budi. 2005. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta : Djambatan.
____________. 2007. Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional. Jakartaa : Trisakti.
Muchsan. 1992. Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Yogyakarta : Liberty.
Murad, Rusmadi. 1991. Penyelesaian Hukum  Atas Tanah. Bandung : Mandar Maju.
Pratanto, A. dan Al Barry. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya : Arloka.
Unang-Undang nomor 5 tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

b.    Sumber Lain
www.hukumonline.com
www.hukum.kompasiana.com
Nurlita. Penyelesaian Kasus Sengketa Tanah Meruya. http://filzahazny.wordpress.com
Fitri. Kasus Sengketa Tanah Meruya Selatan, Jakarta Barat. http://fitri05.wordpress.com

Tidak ada komentar: