SENGKETA MERUYA SELATAN
MENURUT UU AGRARIA NO 5 TAHUN 1960
(UUPA)
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas meta kuliah
Pengantar
Ilmu Hukum
disusun
oleh :
Rudi
baharudin Japar
SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI
SEBELAS APRIL SUMEDANG
2012
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-nya penulis dapat menyusun makalah ini tepat pada
waktunya.
Dalalam
penulisan makalah ini saya mendapat bantuan dari berbagai pihak dan dari
materi-materi yang ada. Oleh karena itu saya ingin mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu penulisan makalah ini.
Saya
sadar bahwa dalam makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, hal itu di
karenakan kterbatasan kemampuan dan pengetahuan saya. Oleh karena itu saya mengharapkan kritk dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita.
Akhir
kata, saya mohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini meiliki banyak kekurangan
dan kesalahannya.
Sumedang, September 2012
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB
I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
1.2
Identifikasi
Masalah
1.3
Tujuan Penulisan
1.4
Metode
Penulisan
BAB
II TINJAUAN TEORI SENGKETA TANH MERUYA
2.1 Hak
Atas Tanah
a.
Cara peralihan
hak atas tanah
b.
Pencabutan
Hak-hak atas tanah
2.2 Sertifikat Hak Atas Tanah
a.
Pengertian
sertifikat
2.3 Pengertian Sengketa Menurut Undang-Undang
No 5 Tahun 1960 (UUPA)
2.4 Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah
BAB
III TINJAUAN YURIDIS SENGKETA TANAH MERUYA
3.1 Kepastian
Hukum Bagi Warga Yang MemegangTanda Bukti
Kepemilikan
Atas Hak Tanah Meruya (sertifikat)
3.2 Penyelesaian Hukum Terhadap Sengketa hak
Atas Tanah Warga Meruya,
Menurut
Undang-Undang No 5 Tahun 1960 (UUPA)
BAB
IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
DAFTAR
PUSTAKA
|
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Indonesia
adalah Negara yang berdasar hukum, maka semua aspek kehidupan bermasyarakat
diatur oleh hukum yang diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan.
Masyarakat dalam suatu negara hukum akan menyelesaikan masalahnya dalam suatu
lembaga peradilan yang diatur khusus oleh undang-undang. Kasus kontemporer yang
pernah mengemuka dalam pemberitaan di media masa di Indonesia, khususnya di
ibukota Jakarta, dalam kasus sengketa kepemilikan tanah yang terkenal dengan
kasus tanah Meruya.
Kasus tersebut bermula dari rencana
eksekusi oleh pemilik hak atas tanah yaitu PT Portanigra, yang membeli tanah
tersebut seluas 44 Ha sekitar tahun 1972 yang lalu dari Juhri Cs sebagai koordinator
penjualan tanah. Juhri Cs, ternyata setelah menjual tanah tersebut kepada PT
Portanigra, menjual lagi tanah itu kepada perorangan, perusahaan, pemda dan
berbagai instansi. Masyarakat dan berbagai instansi yang membeli dari Juhri Cs
kemudian memiliki berbagai tanda bukti hak (sertifikat) atas tanah itu. Atas
tindakan Juhri Cs, pengadilan telah menetapkan bahwa tindakan Juhri Cs adalah
bertentangan dengan hukum, dan mereka telah di pidana pada tahun 1987-1989 atas
perbuatan penipuan, pemalsuan dan penggelapan.[1]
PT portanigra, dengan penguatan putusan pidana
kepada Juhri Cs, kemudian menggugat
secara perdata Juhri Cs, untuk mengembalikan tanah-tanah tersebu sekaligus
meminta pengadilan utuk meletakan sita jaminan atas tanah mereka, yang luasnya
44 Hektar. Permohonan sita jaminan dikabulkan oleh hakim dengan penetapan sita
jaminan No. 161/Pdt/G/1996/PN.Jkt.Bar tanggal 24 Maret 1997 dimasukan dalam
berita acara sita jamianan tanggal 1 April 1997. Pengadilan Negari pada tanggal
24 April 1997 menyatakan gugatan PT Portanigra tidak dapat diterima karena
tidak menyertakan para pemilik tanah lainnya diatas tanah sengketa tersebut.
Pengadilan Tinggi menolak banding Portanigra dan menguatakan putusan Pengadilan
Negeri. Namun, di tingkat kasasi, Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Tinggi serta memutuskan untuk mengadili sendiri.
Berdasarkan putusan kasasi No. 570/K/Pdt/1999 jo.No.161/Pdt.G/1996/PN.JKT.BAR,
Mahkamah Agung menerima kasasi PT portanigra. Pertimbangannya antara lain ialah
bahwa pihak ketiga akan dapat melakukan bantahan terhadap sita jaminan atau
pelaksnaan eksekusi bila memiliki bukti untuk mempertahanakan haknya.[2]
Ketika PT Poranigra akan melaksanakan
eksekusi atas tanah tersebut, setelah mendapat penetapan dari pengadilan
Jakarta Barat pada tahun 2007, dia memperoleh perlawanan dari masyarakat, dan
berbagai instansi pihak ketiga, yang memiliki tanda bukti hak atas tanah
tersebut. Perlawanan yang diajukan oleh pemegang hak atas tanah memperoleh
dukungan moral dan politis dari berbagai lapisan masyarakat seperti Parlemen,
Pemda, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) dan lain-lain. Karena kasus ini, telah
melebar dan meluas melebihi porsi hukum dan khususnya keperdataan, dan mulai
mengarah ke hal-hal yang berkaitan dengan stabilitas, politik, keamanan dan
lain-lain.[3]
Bertitik tolak dari uraian di atas, maka
kami ingin membahas lebih lanjut
mengenai permasalahan tersebut.
1.2
Identifikasi
Masalah
Berdasarkan
uraian diatas penulis mencoba untuk mengidentifikasi permasalahan, sekaligus
merupakan pembahasan permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut :
1) Bagaimana
kepastian hukum bagi warga yang memegang tanda bukti kepemilikan hak
(sertifikat) atas tanahnya ?
2) Upaya
apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan hukum terhadap sengketa hak atas
tanah warga Meruya, menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1960 (UUPA) ?
1.3
Tujuan Penulisan
Tujuan yang hendak dicapai dalam
penelitian ini adalah :
1) Untuk
mengetahui kepastian hukum bagi warga yang memegang tanda bukti kepemilikan hak
(sertifikat) atas tanah tersebut.
2) Untuk
mengetahui penyelesaian hukum terhadap sengketa hak atas tanah warga Meruya,
menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1960 (UUPA).
1.4
Metode
Penelitian
Metode
penulisan makalah ini dengan menggunakan deskriptif analistis. Deskriptif dalam arti bahwa
penulis bermaksud untuk membahas secara rinci mengenai segala sesuatu yang
berkaitan dengan kepastian dan penyelesaian hukum bagi warga yang memegang
tanda bukti kepemilikan hak atas tanah dan mengenai sengketa hak atas tanah
Meruya sedangkan analistis mengelompokan, menghubungkan dan memberi tanda pada
kepastian hukum yang berlaku.
BAB II
TINJAUAN TEORI
SENGKETA TANAH MERUYA
2.1 Hak
Atas Tanah
Hak-hak perorangan dan badan hukum
atas tanah memperoleh pengakuan yang kuat dalam sistem dan hukum di Indonesia.
Hak milik atas tanah adalah bagian dari hak-hak kebendaan yang di jamin dalam
konstitusi. Dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 sebagai
hasil dari amendemen kedua, dinyatakan sebagai berikut :
Pasal
28 g
“setiap
orang berhak mendapat perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya , serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi”.
Pasal
28 h
“setiap
orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh di
ambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”.
Selanjutnya dalam UUPA, dinyatakan
antara lain sebagai berikut :
Pasal 4 ayat (2)
“Hak-hak
atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta
ruang yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang
ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi”.
Berdasarkan pengertian pasa pasal 4 ayat
(2) tersebut, hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi, tepatnya hanya
meliputi sebagian tertentu permukaan bumi yang terbatas, yang disebut bidang
tanah. Hak atas tanah tidak meliputi tubuh bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya.
Asas yang hanya mengakui hak atas tanah
adalah terbatas pada hak atas permukaan bumi saja disebut dengan asas pemisahan
horizontal. Asas pemisahan horizontal adalah asas dimana pemilikan atas tanah
dan benda atau segala sesuatu yang berada diatas tanah itu adalah terpisah.
Asas pemisahan horizontal memisahkan tanah dan benda lain yang melekat pada
tanah itu. Asas pemisahan horizontal adalah asas yang didasarkan pada hukum
adat, dan merupakan asas yang dianut oleh UUPA.[4]
Di dalam UUPA dibedakan berbagai hak atas
tanah sebagai berikut : hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak
pakai, hak sewa, hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan.
Hak milik adalah hak turun temurun,
terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, memiliki fungsi sosial
serta dapat dialihkan dan beralih.
Pasal 20 UUPA menyatakan:
“Dalam
pasal ini disebutkan sifat-sifat dari pada hak milik yang mebedakannya dengan
hak-hak lainnya. Hak milik adalah hak yang “terkuat dan terpenuh” yang dapat
dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti , bahwa hak itu
merupakan hak yang mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu-gugat”.
Sebagai hak eigendom munurut
pengertianya yang asli dulu. Sifat yang demikian akan terang bertentangan
dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak. Kata-kata
“terkuat dan terpenuh” itu bermaksud untuk membedakannya dengan hak guna usaha,
hak guna bangunan, hak pakai dan lain-lainnya, yaitu untuk menunjukan, bahwa
diantara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang hak miliklah yang “ter”
(artinya : paling) –kuat dan terpenuh.[5]
Hak guna bangunan adalah salah satu hak
atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Pengertian Hak Guna
Bangunan diataur dalam pasal 35 ayat (1) yang berbunyi :
“Hak
Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas
tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun”.
Pernyataan
pasal 35 ayat (1) tersebut mengandung pengertian bahwa pemegang HGB bukanlah
pemegang hak milik atas bangunan tanah dimana bangunan tersebut didiraikan.[6]
Sehubungan dengan hal tersebut, pasal 37 UUPA menyatakan bahwa HGB dapat
terjadi terhadap tanah negara yang dikarenakan penetapan pemerintah.
Hak pakai pengertiannya diatur dalam
pasal 41 ayat (1) UUPA yaitu :
“Hak
untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung
oleh negara atau tanah millik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban
yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah
segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan
undang-undang”.[7]
a. Cara
peralihan hak atas tanah
Hak
milik atas tanah mengandung unsur hak kebendaan dan hak perorangan. Sebagai hak
kebendaan, hak atas tanah memiliki ciri-ciri bersifat absolut, jangka waktunya
tidak terbatas, hak mengikuti bendanya (droit de suite), dan memberi wewenang
yang luas bagi pemiliknya seperti dialihkan, dijaminkan, disewakan atau
dipergunakan sendiri. Sebagai hak perseorangan, ciri-cirinya adalah bersifat
relatif, jangka waktunya terbatas, mempunyai kekuatan yang sama tidak
tergantung saat kelahirannya hak tersebut, memberi wewenang terbatas kepada
pemiliknya.
Mengenai
pengalihan atau penyerahan hak atas tanah, terdapat dua pendapat yaitu yang
pertama adalah bahwa jual beli harus dilakukan dengan akta otentik yang diikuti
dengan pendaftaran tanah untuk mendapatkan sertifikat sebagai tanda bukti hak
atas tanah. Akta otentik yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah, bukan
saja hanya sebagai alat bukti untuk pendaftaran tetapi merupakan syarat mutlak
adanya perjanjian penyerahan. Pendapat ini diwakili oleh Mariam Darus Badrulzaman
dan Saleh Adiwinata. Pendapat lainnya adalah bahwa perbuatan jual beli tanpa diikuti
dengan akta otentik adalah sah, sepanjang diikuti dengan penyerahan konkret.
Pendapat ini diwakili oleh Boedi Harsono dan R. Soeprapto.[8]
Penyerahan yang sifatnya konsensual sebagai mana dianut hukum perdata sekaligus
dengan penyerahan yang sifatya konkret sebagaimana di anut oleh hukum adat pada
dasarnya adalah bertentangan dan dapat terjadi dualisme dalam penafsiran
kepastian hukumnya.[9]
Mariam
darus Badrulzaman berpendapat, bahwa lembaga pendaftaran, tidak semata-mata
mengandung arti untuk memberikan alat bukti yang kuat, akan tetapi juga
menciptakan hak kebendaan. Hak kebendaan atas suatu benda tanah terjadi pada
saat pendaftaran dilakukan. Sebelum dilakukan pendaftaran yang ada baru milik,
belum hak.[10]
Dalam kaitan itulah, maka salah satu asas dari hak atas tanah adalah adanya
asas publisitas.
Peraturan
Pemerintah no. 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, adalah bersifat stelsel
pasif. Artinya yang didaftar adalah hak, peralihan hak dan penghapusannya serta
pencatatan beban-beban atas hak dalam daftar buku tanah. Hubungan antara
pemindahan dengan alas hak adalah bersifat kasual, karena sifat peralihan hak
tersebut adalah bersifat levering. Stelsel negatif ini berakibat :
1) Buku
tanah tidak memberikan jaminan yang mutlak.
2) Peranan
yang pasif dari pajak balik nama, artinya pejabat-prjabat pendaftaran tanah
tidak berkewajiban untuk menyelidiki kebenaran dari dokumen-dokumen yang
diserahkan kepada mereka.
Selanjutnya, Mariam Darus Badrulzaman
menjelaskan bahwa berdasarkan ajaran KUH Perdata pada pasal 584, dianut ajaran
untuk sahnya penyerahan dibutuhkan beberapa syarat, yaitu :
1) Alas
hak (rechttitel).
2) Perjanjian
kebendaan yang diikuti dengan perbuatan penyerahan (pendaftaran) dan penerbitan
sertifikat.
3) Wewenang
menguasai (beschikkings bevoegheid).
Pendapat
yang dianut Mariam Darus Badrulzaman di atas, tampaknya sangat dipengaruhi oleh
ajaran teori kausal, yang memandang bahwa hubungan hukum adalah obligatornya,
sedangkan levering adalah akibatnya. Artinya levering baru sah, dan karenanya
baru menjadikan yang menerima penyerahan sebagai pemilik, kalau reschtitel yang
memindahkan hak milik sah.[11]
b. Pencabutan
hak-hak atas tanah
Mengenai
hak kepemilikan atas tanah, sifatnya tidak mutlak, artinya apabila kepentingn
negara atau kepentingan umum menghendaki, hak kepmillikan perorangan atau badan
usaha atas sebidang tanah dapat dicabut dengan pemberian ganti rugi. Prinsip
ini dianut baik dalam KUH Perdata maupun dalam UUPA.
Pasal 570 KUH Perdata
“Hak milik adalah hak
untuk menikmati suatu barang secara
lebih leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya
asalkan tidak bertentanggan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa
yang berwenang dan asal tidak menganggu hak-hak orang lain; kesemuaanya ini
tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan
penggantian kerugian yang pantas,
berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan”.
Pasal 16 ayat 4 UUPA
“Untuk kepentingn umum, termasuk kepentingan bangsa
dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat
dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur
dengan undang-undang”.
Pengertian kepentingan umum, harus
dijaga dengan ketat untuk tidak melebar dan terlalu elastis sehingga hal-hal
yang tidak seyogyanya digolongkan sebagai kepentingan umum, tetapi justru
memperoleh penguatan dan legitimasi. Batasan tentang pengertian kepentingan umum
yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di masyarakat, dan dapat
menjurus kepada ketidakpastian yang baru dan menimbulkan konflik di masyarakat.
Karena itu harus ada pengertian yang konkret akan makna kepentingan umum.
Dalam
Peraturan Presiden nomor 65 tahun 2006 pada pasal 2 dinyatakan bahwa pengadaan
tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau
pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas
tanah. Sedangkan pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilakukan dengan cara
jual beli, tukar menukar atau cara lain yang di sepakati secara sukarela oleh
pihak-pihak yang bersangkutan. Selanjutnya pada pasal 5 diatur secara limitatif
bidang-bidang yang termasuk dalam kategori pembangunan untuk kepentingan umum.
Satu hal yang perlu digaris bawahi
adalah bahwa yang dimaksudkan untuk pembangunan kepentingan umum haruslah yang
diselenggarakan oleh Pemerintah. Pembebasan tanah yang dilakukan oleh pihak
selain Pemerintah, berdasarkan aturan PP tersebut di atas tidak dapat
digolongkan sebagai pembangunan untuk kepentingan umum.
2.2 Sertifikat
Hak Atas Tanah
Sertifikat memiliki banyak fungsi
bagi pemiliknya. Dari sekian fungsi yang ada, dapat dikatakan pada fungsi utama
dan terutama dari sertifikat adalah sebagai alat bukti yang kuat, demikian
dinyatakan dalam pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, karena itu, siapapun dapat
dengan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas tanah bila telah
jelas namanya tercantum dalam sertifikat itu. Selanjutnya dapat membuktikan
mengenai keadaan-keadaan dari tanahnya itu misalnya luasnya, batas-batasnya,
ataupun segala sesuatu yang berhubungan dengan bidang tanah dimaksud.
Apabila
dikemudian hari terjadi tuntutan hukum di pengadilan tentang hak kepemilikan /
penguasaan atas tanah, maka semua keterangan yang dimuat dalam sertifikat hak
atas tanah itu mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan kerenanya hakim
harus menerima sebagai keterangan-keterangan yang benar, sepanjang tidak ada
bukti lain yang mengingkarinya atau membuktikan sebaliknya. Tetapi jika
ternyata ada kesalahan didalamnya maka diadakanlah perubahan / pembetulan
seperlunya.
Dalam hal ini yang berhak melakukan
pembetulan bukanlah pengadilan, melainkan instansi yang menerbitkannya yakni
Badan Pertahanan Nasional (BPN) dengan jalan pihak yang dirugikan mengajukan
permohonan perubahan sertifikat dengan melampirkan surat keputusan pengadilan
yang menyatakan tentang adanya kesalahan dimaksud.
a. Pengertian
Sertifikat
Berdasarkan
pengertian pada Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (2) huruf c Undang-Undang Pokok Agraria untuk hak atas tanah, hak
pengelola, hak wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang
masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Adapun yang
dimaksud Pasal 19 ayat (2) huruf c pada Undang-Undang pokok Agraria dalam
pengertian sertifikat, yaitu pemberian surat tanda bukti hak yang brlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat, mengenai data fisik dan data yuridis yang
termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan yuridis tersebut sesuai dengan
data yang adadalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan, dikatakan
demikian karena selama tidak ada bukti lain yang membuktikan ketidakbenarannya,
maka keterangan yang ada dalam sertifikat harus dianggap benar dengan tidak
perlu bukti tambahan, sedangkan alat bukti lain tersebut hanya dianggap sebagai
alat bukti permulaan dan harus dikuatkan oleh alat bukti yang lainnya.
Jadi, sertifikat merupakan surat
tanda bukti hak yang merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai macam hak,
subyek hak maupun tanahnya. Penerbitan sertifikat dan diberikan kepada yang
berhak dimaksudkan agar pemegang hak dapat
membuktikan dengan mudah bukti haknya. Sedangkan fungsi sertifikat
adalah sebagai alat pembuktian kepemilikan hak atas tanah.
b. Sertifikat
Sebagai Alat Bukti yang Kuat
Menurut
Undang-Undang Pokok Agraria sebagai landasan hukum bidang pertanahan di
indonesia, Pasal 19 ayat (2) sub. C sertifikat sebagai pembuktian yang kuat
adalah bahwa data fisik dan data yuridis yang sesuai dengan data yang tertera
dalam Buku Tanah dan Surat Ukur yang bersangkutan harus di anggap data yang
benar kecuali dibuktikan sebaliknya oleh pengadilan, sehingga selama tidak bisa
dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum didalamnya
harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam melakukan perbuatan hukum
sehari-hari, maupun dalam berperkara di pengadilan, sehingga data yang
tercantum benar-benar harus sesuai dengan surat ukur yang bersangkutan, karena
data yang diambil berasal dari surat ukur dan buku tanah tersebut.
Jadi
sertifikat hak atas tanah adalah slinan buku tanah dan surat ukur tersebut
kemudian dijilid menjadi satu dengan sampul yang telah ditetapkan bentuknya,
sehingga terciptalah sertifikat hak atas tanah. Buku tanah itu merupakan
lembaran-lembaran daftar isian, yang berisi dan merupakan surat-surat bukti
mengenai :
1) Macam-macam
hak atas tanah yang dibekukan.
2) Subjek
yang mempunyainya.
3) Tanah
mana yang dihaki (menunjuk pada surat ukurnya atau gambar situasinya).
4) Hak-hak
lain yang membebaninya.
Sedangkan surat ukur adalah salinan
memuat gambar tanah yang melukiskan batas tanah, tanda-tanda batas maka yang
terpenting surat ukur harus memuat :
1) Nomor
pendaftaran.
2) Nomor
dan tahun surat ukur atau buku tanah.
3) Nomor
pajak jika mungkin.
4) Uraian
tentang letak tanah.
5) Uraian
tentang keadaan tanah.
6) Luas
tanah.
Hal-hal yang dapat dibuktikan dalam
sefrifikat hak atas tanah tersebut adalah :
1) Jenis
hak atas tanah.
2) Pemegang
hak.
3) Keterangan
fisik tentang tanah.
4) Beban
diatas tanah.
5) Peristwa
hukum yang terjadi dengan tanah.
Jalaslah
apabila seseorang memiliki sertifikat hak atas tanah akan merasa terjamin akan
kepastian hak atas tanah yang dimilikinya, sebab apabila terjadi pelanggaran
atas tanah hak miliknya maka pemilik tanah dapat menuntut haknya kembali.
2.3 Pengerian
Sengketa Menurut Undang-Undang no 5 Tahun 1960 (UUPA)
Konflik
menurut pengertian hukum adalah perbedaan pendapat, perselisihan paham,
sengketa antara dua pihak tentang hak dan kewajiban pada saat dan keadaan yang
sama. Secara umum konflik atau perselisihan paham, sengketa, diartikan dengan
pendapat yang berlainan antara dua piihak mengenai masalah tertentu pada saat
dan keadaan yang sama.[12]
Selanjutnya, kata “konflik” menurut Kamus Ilmiah Populer adalah pertentangan,
pertikaian, persengketaan, dan perselisaihan.[13]
Dalam
hal ini akan dibahas mengenai konflik tanah, sebutan “tanah” dalam bahasa ini
dapat dipahami dengan berbagai arti, maka penggunanya perlu diberi batasan agar
diketahui dalam arti apa istilah tersebut digunakan. Dalam hukum tanah sebutlah
istilah “tanah” dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah
diberi batasan resmi oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Berdasarkan
Pasal 4 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dinyatakan bahwa; “Atas dasar hak
menguasai dari Negara ..., ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan
bumi yang disebut tanah yang dapat diberikan dan dipunyai oleh orang-orang”.
Tanah dalam pengertian yuridis mencakkup permukaan bumi sebagaimana diatur
dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Hak tanah mencakup
hak atas sebgian tertentu yang berbatas di permukaan bumi.
Tanah
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh
Undang-Unfang Pokok Agraria (UUPA) untuk digunakan atau dimanfaatkan.
Diberikannya dan dipunyai tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna
jika penggunaannya terbatas hanya hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja.
Untuk
keperluan apa pun memang tidak bisa tidak, pasti digunakan juga sebagai tubuh bumi
yang ada dibawahnya dan air serta ruang angkasa yang di permukaan bumi. Oleh
karena itu, dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dinyatak
bahwa hak-hak atas tanah bukan hanya memberiakan wewenang untuk menggunakan
sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan yang disebut “tanah”, tetapi
juga tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang angkasa yang ada di
atasnya, dengan demikian yang dipunyai dengan hak atas tanah adalah tanahnya,
dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi, tetapi wewenang menggunakan
yang bersumber dengan hak tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan
sebagian tubuh bumi yang ada dibawah tanah, air serta ruang yang ada di
atasnya.[14]
Pembatasan
pengertian tanah dengan permukaan bumi diatur dalam penjelasan Pasal
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagaimana dalam pasal 1 bagian II angka I
bahwa dmaksud dengan tanah ialah permukaan bumi.[15]
Fokus
dalam makalah ini Konflik pertahanan. Konflik dalam pertahanan sering disebut
dengan sengketa, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sengketa merupakan
segala sesuatu yang menyebabakan perbedaan pendapat, pertikaian dan
pembantahan.[16]
Timbulnya sengketa hukum mengenai tanah berawal dari pengaduan suatu pihak
(orang atau badan hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap suatu tanah,
prioritas maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian
secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.[17]
Sifat permasalahan dari suatu sengketa secara umum ada beberapa macam, antara
lain :
1) Masalah
yang menyangkut prioritas dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas
tanah yang berstatus hak, atau atas tanah yang belum ada haknya.
2) Bantahan
terhadap sesuatu atas hak / bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar
pemberian hak.
3) Kekeliruan
/ kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang atau
tidak benar.
4) Sengketa
atau masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis.
Alasan yang sebenanya menjadi tujuan
akhir dari sengketa bahwa ada pihak lain yang lebih berhak dari yang lain
(prioritas) atas tanah yang desengketakan, oleh karena itu, penyelesaian
sengketa hukum terhadap sengketa tersebut tergantung dari sifat permasalahan
yang diajukan dan prosesnya akan memerlukan beberapa tahap tertentu sebelum di
peroleh suatu keputusan.
2.4 Penyelesaian
Sengketa Hak Atas Tanah
Mengenai
tata cara dan prosedur penyelesaian sengketa hukum atas tanah belum diatur
secara konkret, seperti mekanisme pormohonan hak atas tanah (Peraturan Menteri
Negara Agraria Nomor 9 Tahun 1999) oleh karena itu, penyelesaian kasus tidak
dilakukan dengan pola penyelesaian yang seragam tetapi dari beberapa
pengalaman, pola penanganan ini telah kelihatan melembaga walaupun masih
samar-samar.[18]
Mekanisme
penanganan sengketa hukum atas tanah lazimnya diselenggarakan dengan pola
sebagai berikut :
1) Pengaduan
Dalam
pengduan berisi hal-hal dan peristiwa yang menggambarkan bahwa pemohon /
pengadu adalah pihak yang berhak atas tanah yang disengketakan dengan dilampiri
dengan bukti-bukti serta mohon penyelesaian dengan disertai harapan agar
terhadap tanah tersebut dapat dicegah mutasinya sehingga tidak merugikan pemohon.
2) Penelitian
Mekanisme berikutnya setelah
pengaduan adalah penelitian berupa pengumpulan data atau administrasi maupun
hasil penelitian fisik di lapangan mengenai penguasaannya. Hasil dari
penelitian dapat disimpulkan sementara bahwa apakah pengaduan tersebut
beralasan atau tidak untuk diproses lebih lanjut.
3) Pencegahan
Mutasi
Tindak
lanjut dari penyelesaian sengketa adalah atas dasar petunjuk atau perintah
atasan maupun berdasarkan prakarsa Kepala Kantor Agraria yang bersangkutan
terhadap tanah sengketa, dapat dilakukan langkah pengamanan berupa pencegahaan untuk
sementara terhadap segala bentuk perubahan atau mutasi. Tujuan dilakukannya
pencegahan atau mutasi adalah menghentikan untuk sementara waktu segala bentuk
perubahan terhadap tanah yang disengketakan.
4) Musyawarah
Pendekatan
terhadap para pihak yang bersengketa melalui musyawarah sering berhasil didalam
usaha penyelesaian sengketa, dan biasanya menempatkan instansi pemerintah yang
dalam hal ini adalah Direktorat Jendral Agraria untuk bertindak sebagai
mediator dalam menyelesaikan sengketa secara kekeluargaan.
5) Penyelesaian
Melalui Pengadialan
Apabila
usaha melalui jalan musyawarah tidak mendatangkan hasil maka sengketa harus diselesaikan oleh instansi
yang berwenang yaitu pengadilan.[19]
Jadi pada umumnya sifat dari
sengketa adalah adanya pengaduan yang mengandung pertentangan hak atas tanah
maupun hak-hak lain atas suatu kesempatan / prioritas atau adanya suatu
ketetapan yang merugikan dirinya. Para pihak menghendaki penyelesaian sengketa
yang mendasarkan atau memperhatikan
peraturan yang berlaku, memperhatikan keseimbangan kepentingan para pihak,
menegakan keadilan hukum dan penyelesaian tersebut harus tuntas. Pada
masyarakat desa, peran kepala desa sangat penting dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi warganya.
Persoalan yang menyangkut warga desa dimusyawarahkan terlebih dahulu dalam
rapat desa atau dibicarakan dengan sesepuh desa untuk memperoleh pemecahan yang
tepat dan memuasakan bagi semua pihak. Upaya penyelesaian sengketa melalui
musyawarah merupakan cerminan corak khas tata kehidupan masyarakat adat
tradisional yang memiliki sifat kebersamaan, gotong-royong dan kekeluargaan.
BAB III
TINJAUN YURIDIS
SENGKETA TANAH MERUYA
3.1 Kepastian
Hukum Bagi Warga yang Memegang Tanda Bukti Kepemilikan hak Atas Tanah
(Sertifikat)
Berdasarkan
pengertian pada Pasal 4 ayat (2) pada tinjauan teori, bahwa hak atas tanah
adalah hak atas permukaan bumi, tepatnya
hanya meliputi sebagian tertentu permukaan bumi yang terbatas, yang disebut
bidang tanah. Di dalam UUPA dibedakan berbagai hak atas tanah sebagai berikut :
hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka
tanah dan hak memungut hasil hutan.
Menurut
UUPA Pasal 20, hak milik adalah hak yang “ terkuat dan terpenuh” yang dapat
dipunyai orang atas tanah. Bahwa hak itu merupakan hak mutlak, tak terbatas dan
tidak dapat diganggu-gugat, hak ini berbeda dengan hak lainnya, karena hak ini
merupakan hak mutlak. Begitu pun yang dirasakan oleh warga Meruya atas tanah
Meruya tersebut. Mereka merasa bahwa tanah Meruya murupakan hak milik mereka,
dikarenakan mereka mempunyai sertifikat atas tanah yang mereka tempati,
sertifikat itu pun resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sehingga ketika
mencuat permasalahan ini masyarakat yang disini sebagai pihak ketiga pun merasa
kebingungan atas hak mereka.
Seedangkan
setelah dikaji lebih lanjut, transaksi jual beli tanah antara PT Portanigra
dengan Juhri Cs, yang tidak atau belum dilanjutkan dengan pendaftaran tanah
untuk mendapatka sertiffikat tanah, membawa akibat hukum bahwa bukti kepemilikan
PT Portanigra atas tanah tersebut belum lengkap. Sesuai dengan teori bab
sebelumnya dikatakan bahwa, mengenai pengalihan atau penyerahan hak atas tanah,
terdapat dua pendapat yaitu yang pertama adalah bahwa jual beli harus dilakukan
dengan akta otentik yang diikuti dengan pendftaran tanah untuk mendapatkan
sertifikat sebagai tanda bukti hak atas tanah. Akta otentik yang dibuat oleh
pejabat pembuat akta tanah, bukan saja hanya sebagai alat bukti untk
pendaftaran tetapi merupakan syarat mutlak adanya perjanjian penyerahan. Dengan
demikian, kepemilikan yang dipunyai PT Portanigra adalah kepemilikan yang
bersifat kebandaan, bukan kepemilikan yang bersifat hak perorangan. Untuk
mendapatkan hak milik, maka PT Portanigra harus melanjutkan dengan prosedur normal
dengan melakukan pendaftaran tanah untuk mendapatkan sertifikat hak.
Disamping
itu masyarakat sebagai pihak ketiga dalam permasalahan ini telah melakukan
transaksi jual beli bersama Juhri Cs, dengan akta otentik, pendaftaran tanah,
hingga memperoleh sertifikat tanah. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 ayat
(2) huruf c UUPA dalam teori bab sebelumnya pengertian sertifikat, yaitu
pemberian surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat,
mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang data
fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur
dan buku tanah hak yang bersngkutan, dikatakan demikian karena selama tidak ada
bukti lain yang membuktiakan ketidakbenarannya, maka keterangan yang ada dalam
sertifikat harus dianggap benar dengan tidak perlu bukti tambahan, sedangkan
alat bukti lain tersebut hanya dianggap sebagai alat bukti permulaan dan harus
dikuatkan oleh alat bukti yang lainnya.
Sertifikat
merupakan surat tanda bukti hak yang merupakan alat pembuktian yang kuat
mengenai macam hak, subyek hak maupun tanahnya. Penerbitan sertifikat dan
diberikan kepada yang berhak dimaksudkan agar pemegang hak dapat dengan mudah
mumbuktikan haknya. Sedangkan fungsi sertifikat adalah sebagai alat pembuktian
kepemillikan hak atas tanah. Sertifikat hak atas tanah adalah sebagai alat
salinan buku tanah dan surat ukur, kemudian dijilid menjadi satu dengan sampul
yang telah ditetapkan bentuknya, sehingga terciptalah sertifikat hak atas
tanah. Jelaslah apabila seseorang memiliki sertifikat hak atas tanah akan
merasa terjamin akan kepastian hak atas tanah yang dimilikinya, sebab apabila
terjadi pelanggaran atas tanah hak miliknya maka pemilik tanah dapat menuntut
haknya kembali.
Kemudian meninjau dari pengalihan tanah
dari para pembeli awal, kepada pembeli, serta para pihak yang saat ini secara
nyata menduduki baik secara hukum maupun konkret, telah berlangsung sesuai
dengan aturan dari pemerintah. Dengan demikian sangat jelas bahwa pihak-pihak
yang memegang sertifikat tersebut memang sah adanya sesuai hukum, dan tentu
saja hukum melindungi para pembeli dengan itikad baik.[20]
Dalam hukum berlaku satu asas, yaitu bahwa kejujuran itu dianggap ada pada
setiap orang. Sedangkan ketidakjujuran harus dibuktikan. Hukum juga memberi
perlindungan absolut dan relatif, karena kepemilikan pada pihak-pihak yang
menduduki tanah tersebut saat ini adalah kepemilikan kebendaan maupun
kepemilikan perorangan.
3.2 Penyelesaian
Hukum Terhadap Sengketa Hak Atas Tanah Warga Meruya, Menurut Undang-Undang No 5
Tahun 1960 (UUPA)
Sengketa
tanah Meruya antara PT Portanigra dan Juhri Cs berawal dari jual beli tanah
pada 1972 dan 1973. Ternyata H. Juhri cs ingkar janji dengan menjual lagi
tanahnya kepada pihak lain sehingga mereka dituntut secara pidana (1984) dan
digugat secara perdata (1996). PT Portanigra yang menang dalam putusan MA pada
tahun 1996 tidak langsung mengeksekusi tanahnya, baru 11 tahun kemudian yakni
tahun 2007 baru melaksanakan eksekusi tanahnya yang lahan sudah ditempati warga
Meruya sekarang dengan sertifikat asli.
Sengketa
tanah yang dimulai sejak lebih dari 30 tahun yang lampau ini bukanlah kurun
waktu singkat. Selama itu sudah banyak yang berubah dan berkembang, baik
penghuni, lingkungan sekitar, institusi terkait yang menangani, pasti
personelnya sudah silih berganti. Mereka meras memiliki hak dan ataupun
kewenangan. Mereka merasa telah menjalankan tugas dangan baik dan tidak mau
disalahkan, tidak ingin kehilangan hak miliknya. Situasi dan kondisi lapangan
pada 1972 tentunya berbeda sama sekali dengan sekarang. Cara-cara melakukan
penilaian dan mengambil langkah-langkah penindakan 30 tahun yang lalu pada saat
ini telah banyak berubah. Pradigma masa lalu bahwa warga banyak yang belum
memiliki sertifikat akan berhadapan dengan program sertifikasi yang memberi
kemudahan dalam memperoleh sertifikat tanah.
Persengketaan
ini tentu akan semakin berlarut-larut apabila tidak ditindak lanjuti dengan
baik. Semua pihak yang trlibat didalam permasalahan ini masing-masing merasa paling
berhak atas tanah tersebut. Baik pihak PT Portanigra maupun masyarakat atau
institusi yang mempunyai sertifikat hak atas tanah. Penyelesaian sengketa hukum
ini akan memerlukan beberapa proses dan tahap tertentu sebelum diperoleh suatu
keputusan. Menurut pemahaman dari teori pada bab sebelumnya ada beberapa
tahapan mekanisme untuk menyelesaikan persoalan persengketaan, yaitu :
1) Pengaduan.
2) Penelitian.
3) Pencegahan
Mutasi.
4) Musyawarah.
5) Penyeleasaian
melalui pengadilan.
Mungkin
proses tahapan penyelesaian diatas akan memakan waktu lama atas kasus ini,
dikarenakan kasus ini telah berlarut-larut hingga 30 tahun, proses diatas
munkin akan kurang efektif, banyaknya perubahan-perubahan yang terjadi, situasi
dan kondisi saat 30 tahun yang lalu sangat berbeda dengan sekarang. Sehingga
menurut kami kondisi tersebut akan sulit dalam melakukan penelitian lebih dalam
kasus ini.
Pada
umumnya sifat dari sengketa adalah adanya pengaduan yang mengandng pertentangan
hak atas tanah maupun hak-hak lain atas suatu kesempatan / prioritas atau
adanya suatu ketetapan yang merugikan dirinya. Para pihak menghendaki
penyelesaian sengketa yang mendasarkan atau memperhatikan peraturan yang
berlaku, memperhatikan tersebut harus tuntas. Pada kasus sengketa tanah Meruya
ini antar PT Portanigra dan warga harus duduk bersama melalui musyawarah
mufakat untuk mencapai solusi yang dilandasi akal sehat merupakan penyelesaian
yang lebih baik daripada saling menyalahkan secara emosional. Cara ini mungkin
akan lebih efektif dibanding dengan cara sebelumnya.
Ada
pula cara lain dalam menyelesaikan kasus sengketa tanah ini melalui beberapa
jalur hukum yang dapat ditempuh seperti gugatan perlawanan oleh pihak ketiga
yang merasa mempunyai hak (telah dilakukak), mengajukan permohonan peninjauan
kembali (PK) oleh para pihak yang bersengketa seperti antara PT. Portanigra
dengan Juhri cs, mengajukan gugatan baru oleh para pihak yang merasa dirugiakan
dalam permasalahan sngketa. Untuk memperjuangkan hak-haknya, warga melandasinya
dengan surat-surat yang kuat (sertifikat), batas-batas tanah jelas,
asal-usulnya dapat ditelusuri serta tidak terkena sengketa.
Pihak
ketiga yakni warga yang menempati tanah tersebut dengan sertifikat tanah yang
asli harus beriktikad baik (apa lagi tidak tahu sama sekali mengenai adanya
sengketa) seharusnya memperoleh pertimbangan hukum. Jangan sampai mereka
menjadi korban sebab dapat menimbulkan
gejolak serta problem kemasyarakatan yang sifatnya bukan sekedar keperdataan.
Perlu dilakukan penelitian apakah porosedur pembebasan tanah pada saat ini
telah sesuai ketentuan, siapakah yang membayar pajak (PBB) atas tanah
sengketa.juga dilakukan penyelesaian atas tanah sengketa yang akan dieksekusi
apabila ternyata telah menjadi sarana umum : sekolah, lapangan bola,
perkantoran, puskesmas, ataupun kompok pertokoan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan
pada hasil pembahasan pada makalah ini dalam kaitannya dengan sengketa tanah
Meruya selatan, jakarta barat antara PT. Portanigra dengan Juhri Cs maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
a. Kepastian
Hukum Bagi Warga Yang Memegang Tanda Bukti Kepemilikan Hak Atas Tanah
(sertifikat)
1)
Transaksi jual
beli tanah antara PT. Portanigra dengan Juhri Cs, yang tidak atau belum
dilanjutkan dengan pendaftaran tanah untuk mendapatkan sertifikat tanah,
membawa akibat hukum bahwa bukti kepemilikan PT. Portanigra atas tanah tersebut
belum lengkap.
2)
Masyarakat
sebagai pihak ketiga dalam permasalahan ini telah melakukan transaksi jual beli
bersama Juhri Cs, dengan akta otentik, pendaftaran tanah, hingga memperoleh
sertifikat tanah.
3)
Pengalihan tanah
dari para pembeli awal, kepada pembeli, serta para pihak yang saat ini secara
nyata menduduki baik secara hukum maupun konkret, telah berlangsung dengan
sesuai dengan aturan pemerintah. Dengan demikian sangat jelas bahwa pihak-pihak
yang memegang sertifikat tersebut memang sah adanya sesuai hukum.
4)
Hukum akan
memberi perlindungan absolut dan relatif kepada masyarakat, karena kepemilikan
pada pihak-pihak yang menduduki tanah tersebut saat ini adalah kepemilikan
kebendaan maupun kepemilikan perorangan.
b.
Penyelesaian
Hukum Terhadap Sengketa hak Atas Tanah Warga Meruya, menurut Undang-Undang No 5
Tahun 1960 (UUPA)
1)
Cara
menyelesaikan perkara ini dengan gugatan perlawanan oleh pihak ketiga yang
merasa mempunyai hak (telah dilakukan), mengajuak permohonan peninjauan kembali
(PK) oleh para pihak yang bersengketa seperti antara PT. Portanigra dengan
Juhri Cs, mengajukan gugatan baruoleh para pihak yang merasa dirugikan dalam permasalahan
sengketa. Untuk memperjuangkan hak-haknya, warga melandasinya dengan sura-surat
yang kuat (sertifikat), batas-batas tanah jelas, asal-usulnya dapat ditelusuri
serta tidak terkena sengketa.
2)
Pihak ketiga
yakni warga yang menempati tanah tersebut dengan sertifikat tanah yang asli
harus beriktikad baik (apa lagi tidak tahu sama sekali mengenai adanya
sengketa) seharusnya memperoleh pertimbangan hukum.
3)
Peerlu dilakukan
penelitian apakah prosedur pembebasan tanah pada saat itu telah sesuai
ketentuan, siapakah yang membayar pajak (PBB) atasa tanah sengketa. Juga
dilakukan penyelesaian atas tanah sengketa yang akan dieksekusi apabila
ternyata telah menjadi sarana umum : sekolah, lapangan Bola, perkantoran,
puskesmas, ataupun komplek pertokoan.
4.2 Saran
a.
pada kasus
sengketa tanah meruya ini antara PT. Portanigra dan warga duduk bersama melalui musyawarah mufakat untuk mecapai
solusi yang dilandasi akal sehat merupakan penyelesaian yang lebih baik dari
pada saling menyalahkan secara emosional.
b.
kasus Meruya
memberi pelajaran tentang proses hukum yang tidak boleh berlarut-larut,
pentingnya sertifikat dalam kepemilikan tanah, tentang putusan pengadilan serta
pelaksanaan yang berkeadilan, dan juga perlunya kerja sama antara pengadialan
dan lembaga negara yang menangani masalah pertanahan.
[1] Diakses dari www.wordpress.com
online internet tanggal 12 September 2012
[2]Diakses dari www.wordpress.com
online internet tanggal 12 September 2012
[3]Diakses dari www.wordpress.com
online internet tanggal 12 September 2012
[4] Diakses dari www.hukumonline.com
online internet tanggal 13 September 2012
[5] Ali Achmad Chomzah, hukum pertahanan, (Jakarta : Prestasi
Pustaka, 2002) Hal. 5
[7] Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertahanan, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2002) Hal. 42
[8] Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, (Jakarta Trisakti, ed.
3, 2007)
[9] Diakses dari www.hukumonline.com online
internet 13 September 2012
[10] Mariam D. Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, (Bandung PT. Alumdi 1997) Hal.
55
[11] Mariam D. Badrulzaman, mencari Sistem Hukum Benda Nasional, (Bandung PT. Alumdi, 1997)
Hal. 62
[12] Muchsan, Sistem
Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara
di Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1992) Hal 42
[13] A. Partanto dan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya : Arloka, 1994) Hal 354
[14] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 2005) Hal.18
[15] Ibid. Hal.37
[16] Ibid. Hal.624
[17] Rusmadi Murad, Penyelesaian Huku Atas Tanah, (Bandung : Mandar Maju, 1991) Hal. 22
[18] Rusmadi Murad, Penyelesaian Hukum Atas Tanah, (Bandung : Mandar Maju, 1991) Hal.
23
[19] Rusmadi Murad, penyelesaian Hukum Atas Tanah, (Bandung : Mandar Maju, 1991) Hal.
24
[20] Diakses dari www.hukum.kompasiana.com online
tanggal 15 September 2012
DAFTAR
PUSTA
a. Sumber
Buku
Badrulzaman,
Mariam D. 1997. Mencari Sistem Hukum
Benda Nasiona. Bandung : PT. Alumdi.
Chomzah, Ali Achmad.
2002. Hukum Pertanahan. Jakarta :
Prestasi Pustaka.
Harsono, Budi. 2005. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta :
Djambatan.
____________.
2007. Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah
Nasional. Jakartaa : Trisakti.
Muchsan.
1992. Sistem Pengawasan Terhadap
Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Yogyakarta
: Liberty.
Murad, Rusmadi. 1991. Penyelesaian Hukum Atas Tanah. Bandung : Mandar Maju.
Pratanto, A. dan Al
Barry. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya
: Arloka.
Unang-Undang nomor 5
tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
b. Sumber
Lain
www.hukumonline.com
www.hukum.kompasiana.com
Nurlita. Penyelesaian
Kasus Sengketa Tanah Meruya. http://filzahazny.wordpress.com
Fitri. Kasus Sengketa
Tanah Meruya Selatan, Jakarta Barat. http://fitri05.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar